Rabu, 25 Agustus 2010

AZAB DAN SENGSARA

Pengarang : Merari Siregar

Penerbit : Dinas Penerbitan Balai Pustaka Jakarta – 1958

Tebal : 189 halaman

Pelaku Utama : Aminudin dan Mariamin

1.1. Ringkasan Cerita

Suatu keluarga mempunyai dua orang anak, seorang bernama Tohir (setelah dewasa bergelar Sutan Baringin), dan seorang lagi perempuan, adik Sutan Baringin yang menikah dengan Sutan di atas, seorang Kepala Kampung A dari Lubak Sipirok, dan mempunyai seorang anak tunggal laki-laki bernama Aminudin.

Ayah Sutan Baringin bersikap keras dalam mendidik sutan Baringin, tetapi sikap itu ditentang oleh isterinya yang bermaksud memanjakan Sutan Baringin. Cara mendidik Ibu Sutan Baringin yang salah itulah yang menyebabkan azab dan sengsara yang diderita oleh cucunya yang bernama Mariamin, yaitu anak Sutan Barimin yang sulung dengan isterinnya seorang wanita yang saleh bernama Nuria. Mariam mempunyai adik laki-laki.

Hubungan antara Aminudin dengan Mariamin seperti kakak dengan adik saja (menurut adat Batak, Aminudin memanggil anggi (adik) kepada Mariamin). Mereka itu semasa bersekolah selalu bersama pergi ke sekolah. Setelah dewasa, timbullah perasaan cinta di antara mereka. Mereka akhirnya mengikat janji akan sehidup semati.

Suatu Baringin termasuk orang yang kaya, karena memperoleh harta peninggalan dari neneknya. Sebenarnya harta warisan itu harus dibagi dua dengan baginda Mulia, adik sepupu Sutan Baringin yang menjadi guru di Medan.

Pada suatu hari Baginda Mulia memberitahu Sutan Baringin bahwa ia akan pulang dan tinggal bersama-sama dengan Sutan Baringin jarena permintaan pindahnya dikabulkan. Hal itu tidak menyenangkan hati Sutan Baringin, karena menurut pendapatnya, kedatangan Baginda Mulia akan mengurangi harta kekayaannya saja dengan jalan meminta separuh dari harta peninggalan neneknya tersebut. Karena itu sebelum adik sepupunya itu datang, ia sudah siap sedia, yakni ia mendatangkan sahabatnya yang menjadi pokrol bambu bernama Marah Sait. Atas hasutan Marah Sait yang bermaksud mencari keuntungan itulah maka jadilah perkara mengenai harta warisan dengan Baginda Mulia. Nasihat-nasihat dan sekalian familinya, demikian pula dari isterinya, sama sekali tidak dihiraukannya. Kedatangan Baginda Mulia secara baik-baik dan harapannya kepada kakaknya agar masalah harta peninggalan itu hendaknya diselesaikan secara damai saja, tidak diterima oleh sutan Baringin, bahkan sejak itu Baginda Mulia dianggap bukan saudaranya lagi dan perkara tetap dilangsungkan.

Perkara dihadapkan ke Pengadilan Padangsidempuan. Putusan pengadilan ialah bahwa harta warisan itu dibagi dua. Terhadap putusan itu Sutan baringin tidak puas. Atas hasutan Marah Sait, perkara itu dilanjutkan ke pengadilan Padang. Putusan pengadilan Padang sama dengan putusan pengadilan padangsidempua. Terhadap putusan pengadilan Padang itu masih juga belum memuaskan hati Sutan Baringin. Karena itu atas hasutan Marah Sait, ia minta putusan pengadilan Jakarta. Pengadilan Jakarta pun memberikan putusan yang sama. Maka pulanglah Sutan Baringin ke rumahnya. Rumah dan segala kekayaannya habis terjual untuk biaya perkara itu. Maka pindahlah Sutan Baritan ke suatu pondok kecil di tepi sungai sipirok. Karena sedihnya, maka tak berapa lama kemudian, meninggalkan Sutan Baringin di pondok kecil itu.

Setelah Aminudin dewasa, orang tuanya bermaksud hendak menikahkannya dengan seorang anak gadis pilihan orang tuanya, padahal Aminudin sendiri telah mengikat janji akan sehidup semati dengan Mariamin Karena itu setelah ia minta diri kepada Mariamin, ia pergi ke Medan untuk mencari pekerjaan sebagai seorang kerani, sehingga dengan demikia orang tuanya terpaksa mengurungkan niatnya.

Sepeninggal Aminudin banyak orang yang melamar Mariamin, tetapi ia sendiri tidak mau, karena ia telah mengikat janji pula dengan Aminudin.

Beberapa bulan kemudian Aminudin minta menikah kepada orang tua nya dengan memberitahukan bahwa isteri yang diinginkannya ialah Mariamin. Bersamaan dengan itu kepada Mariamin pun ia memberi kabar tentang itu dan memintanya agar bersiap-siap.

Permintaan Aminudin disetujui ibunya, mengingat bahwa Mariamin masih kaumnya sendiri, lagu pula baik budi bahasanya. Tetapi ayahnya tidak menyetujui karena keluarga Marimin sekarang telah miskin. Akhirnya mereka itu pergi ke rumah seorang datu (dukun). Dukun mengatakan bahwa pernikahan antara Aminudin dengan Mariamin kelak akan berakibat tidak baik. Maka mereka pun mencari anak gadis lain untuk jodoh Aminudin. Setelah mereka tiu memperoleh jodoh Aminudin, yakni anak seorang kepala kampung, maka Aminudin pun diberitahu agar mereka dijemput di stasiun tetapi tidak diberitahu bahwa yang dibawa itu bukan Mariamin. Setelah mereka itu datang alangkah terkejut Aminudin ketika dilihatnya bahwa yang dibawa oleh orang tuanya itu bukan Mariamin. Setelah diceritakan oleh seorang tuanya mengapa ia tidak membawa Mariamin, maka dengan berat diterimanya juga isteri pemberian orang tuanya itu. Setelah itu juga Aminudin memberitahukan peristiwa itu kepada Mariamin. Membaca surat Aminudin itu, Mariamin pun pinsanlah. Untunglah pada waktu itu ibunya ada di dekatnya sehingga dapat membelanya.

Setelah orang tua Aminudin pulang dari Medan, atas permintaan Aminudin mereka itu datang minta maaf kepada keluarga Mariamin.

Pada suatu hari Mariamin dilamar oleh seorang laki-laki bernama Kasibun. Atas nasihat ibunya Mariamin menerima lamaran itu walaupun orang itu belum dikenalnya betul. Setelah pernikahan dan berziarah ke kubur Sutan Baringin, maka pergilah Mariamin mengikuti suaminya ke Medan, karena Karena kasibun menjadi kerani di Medan. Kasibun sendiri sebenarnya sudah beristeri. Hal itu tidak diketahui oleh Mariamin. Setelah ia menikah dengan Mariamin maka isterinyapun diceraikannya.

Kedatangan Mariamin mengikuti suaminya di Medan itu didengar oleh Aminudin. Karena itu iapun pada suatu hari pergi mengunjungi rumah Mariamin. Pada waktu ia datang, suaminya masih bekerja di kantornya, sehingga Aminudin hanya ditemui oleh Mariamin. Pertemuan itu mengakibatkan hujan air mata, lebih-lebih bagi Mariamin, hal itu menyebabkan luka hatinya karena ia ingat akan hal-hal yang telah lampau yang menyedihkannya itu.

Setelah di Medan dan bergaul dengan suaminya, barulah diketahui oleh Mariamin bahwa suaminya mempunyai penyakit raja singa. Itulah sebabnya maka Mariamin pun selalu menolak bergaul dengan suaminya. Sikapnya itu menyebabkan Kasibun cemburu kepada Mariamin, lebih-lebih setelah kedatangan Aminudin ke rumahnya, walaupun sudah diterangkan oleh Mariamin bahwa Aminudin ialah saudara sepupunya.

Pada suatu hari Kasibun menjadi sangat marah karena sikap Mariamin yang selalu menolak berkumpul sebagaimana layaknya suami isteri. Akibatnya Mariamin pun disakitinya sehingga menyebabkan luka-luka pada mukanya. Setelah perlakukan suaminya atas dirinya itu, Mariamin pun pergi ke kantor polisi. Setelah perkara diselesaikan, Kasibun didenda duapuluh lima rupiah dan ia harus bercerai dengan Mariamin. Setelah perceraian itu Mariamin pun pulang ke rumahnya.

Beberapa waktu kemudian orang menjumpai pondok Mariamin telah roboh. Kemana pergi ibu dan adinya, tak ada orang yang mengetahui. Orang hanya mengetahui bahwa suatu kuburan terdapat sebuah kubur yang masih merah tanahnya. Kuburan itu tidak lain ialah kuburan Mariamin. Ia bari saja meninggal karena sedihnya menanggung azab dan sengsara. Baru sekarang lah ia terlepas dari azab serta kesengsaraan itu dan beristirahat untuk selamanya.

1.2. Makna Yang Terkandung

a. Jangan hendaknya kita karena terpaksa mau mengerjakan sesuatu yang tidak berkenan dalam hati kita, karena hal itu akan merugikan diri kita sendiri.

b. Janganlah memanjakan anak karena pendidikan yang salah akan diderita oleh keturunannya.

c. Kita harus berhati-hati menerima nasihat orang lain, karena kadang-kadang dengan menerima pendapat orang lain yang sengaja hendak mencari keuntungan untuk diri sendiri, akan mengakibatkan retaknya hubungan kita dengan kaum keluarga.

d. Jika hendak mengerjakan sesuatu hendaknya dipikirkannya masak-masak lebih dahulu baik-buruknya agar kelak tidak menyesal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar